Hari Jum'at (4/4) malam lalu saya kedatangan seorang tamu istimewa. Yak, teman seide dan seperjuangan semasa SMA di Jambi dulu tanpa disangka-sangka datang berkunjung ke Jogja. What a surprise! Jelas saja saya senang sekali menyambutnya karena dulu kami adalah teman sekelas di kelas 2, teman nge-band, sekaligus teman nge-gank. Setelah terakhir kali bertemu pas lebaran 3 tahun lalu, kamipun 'reuni'.

Banyak cerita yang kami urai dalam pertemuan hangat malam itu. Terpisah 3 tahun tanpa kabar berita jelas menyuguhkan cerita panjang tentang perjalanan hidup masing-masing. Tapi sial, belum sempat ngobrol banyak saya sudah jatuh mental duluan. Bayangkan saja, teman saya itu saat ini menjabat sebagai Kepala Bagian Keuangan salah satu departemen di Kabupaten Batang Hari, Jambi. Plus, ia juga tengah menyelesaikan studi S2 di sela-sela waktu kerjanya. Ia dapat dengan bangga menceritakan semua pencapaiannya itu kepada saya. Lha, saya sendiri apa????

Penyesalan memang selalu datang di akhir. Delapan tahun merantau ke Kota Pelajar saya belum bisa dikatakan sukses dari segi apapun. Kuliah saya masih belum kelar, padahal saya hanya mengambil studi D3! Kerjaan juga tidak ada, begitupun prestasi lain yang bisa dibanggakan. Selama ini saya merasa enjoy-enjoy saja dengan semua keadaan ini. Tapi setelah bertemu dengan sahabat lama seperti kemarin itulah baru saya kena batunya. :((

Saya mengawali perantauan di Jogja dengan status keren: mahasiswa undangan sebuah program pendidikan pariwisata setara D2. Sebenarnya saya tidak begitu menyukai dunia pariwisata sama sekali. Tapi berhubung saat itu dunia pariwisata adalah jalan terbaik untuk meniti karir sekaligus mencari uang banyak, maka saya paksakan diri mengambil dan menyukai studi tersebut. Apalagi mau mengambil studi S1 saya tidak berani karena keuangan keluarga kurang mendukung waktu itu. So, saya nikmati saja pendidikan setara D2 yang ternyata menghadirkan banyak pengalaman seru bagi saya tersebut.

Masa-masa keemasan sebagai anak kebanggaan orang tua, bahkan juga kebanggaan keluarga besar orang tua, saya rasakan sepanjang pertengahan tahun 2001-2002. Waktu itu saya sudah menjadi guide alias pemandu wisata sembari kuliah. Kalau cuma membawa bule muter-muter Jogja, Prambanan, Borobudur saja saya sudah biasa. Saya juga pernah membawa bule Prancis satu bis besar ke Malang. What a great experience! Masalah uang jangan ditanya lagi. Hanya membawa tamu selama sehari saja saya sudah bisa mengantongi uang untuk kebutuhan 2 minggu. Lalu saya juga pernah merasakan betapa 'basah'nya pekerjaan sebagai bellboy di sebuah hotel berbintang empat. Tapi semua kebanggaan itu tidak berlangsung lama. Satu kesalahpahaman dengan Bapak membuat saya frustasi tiada ujung dan membawa saya ke rimba kegelapan selama bertahun-tahun.

Ceritanya begini. Waktu itu saya lulus D2 tahun 2002. Setelah menimbang-nimbang untung-ruginya bagi masa depan, saya putuskan untuk mencoba peruntungan menjadi kru kapal pesiar. Rencana ke depannya saya tidak akan lama-lama melaut. Begitu memiliki tabungan lumayan, saya akan pulang dan membuka usaha sendiri sambil mengambil S1. Tapi rupanya orang tua saya tidak setuju. Saya diminta melanjutkan ke S1 terlebih dahulu baru boleh merencanakan mau kemana. Tentu saja saya ngotot. Dasar pemikiran saya sederhana saja. Masuk kuliah ataupun melamar sebagai kru kapal pesiar sama-sama membutuhkan uang. Tapi kalau yang pertama sifatnya konsumtif karena akan membutuhkan pengeluaran terus selama 3-4 tahun ke depan, sedangkan yang kedua malah akan menjadi sumber pemasukan plus pengalaman luar biasa. Lagipula adik saya baru saja lulus SMA dan harus melanjutkan ke jenjang kuliah juga. Masuk akal kan?

Dari perselisihan itu akhirnya saya malah hancur-hancuran. Ya, saya kuliah. Tapi keterpaksaan membuat saya malas-malasan. Padahal saya sudah memilih jurusan yang sangat saya sukai, yakni jurnalistik. Akhirnya, inilah saya sekarang. 5 tahun lebih kuliah D3 dan tidak lulus-lulus, pekerjaan tidak ada, prestasi lainpun nol besar. Alhasil, saat bertemu dengan teman yang sudah berpangkat Kabag saya jadi minder bukan kepalang. Terlebih begitu mendengar cerita kesuksesan teman-teman lain. Si itu sudah punya kebun sekian hektar, si anu sudah jadi bos dealer motor, si ini jadi pemasar MLM sukses, dst. Yah, dasar nasib....