Pemilu telah usai. Proses penghitungan perolehan suara sedang berjalan. Untuk sementara Partai Demokrat masih memimpin dengan selisih yang cukup besar dengan Partai Golkar dan PDI Perjuangan di bawahnya. Meski belum selesai dihitung, tapi banyak pengamat dan juga masyarakat awam yang meyakini kalau Partai Demokrat akan menang besar dalam Pemilu kali ini.

Whatever. Saya koq malah tertarik membahas caleg-caleg yang tidak lolos ke Senayan. Kebetulan sekali ada seorang teman yang jadi caleg dari satu partai berbasis Muhammadiyah. Saya tidak tahu apakah dia lolos atau tidak jadi anggota DPRD Kab. Sleman. Namun melihat cerita pencalonannya koq saya malah yakin kalau si teman ini tadi tidak lolos. Kasihan? Bukan dia yang perlu dikasihani, tapi partai yang mengajukannya. :)

Teman saya ini sudah sejak lama saya tahu aktif di partai dimaksud. Dan terakhir bertemu ia menjadi pengurus DPD alias tingkat kabupaten. Nah, paling terakhir ketemu dianya sudah jadi caleg dari partai itu. Kebetulan sekali waktu itu saya sedang magang di SKM Malioboro Ekspres yang core beritanya tentang Pemilu dan segala pernak-perniknya. So, sayapun main ke rumahnya untuk diwawancarai. Semacam profil caleg perempuan begitulah.

Namanya juga teman, sesampainya di sana bukan wawancara yang terjadi. Kami ya cuma ngobrol ngalor-ngidul tak tentu arah sambil sesekali saja menyingung-nyinggung tentang visi-misinya. Nah, cerita baru jadi seru setelah saya mengajukan pertanyaan sepele, "Kok bisa jadi caleg sih?" Hehehe, kalau bukan teman mungkin saya sudah disuruh pulang gara-gara tanya begitu.

Maka teman saya itupun bercerita. Katanya, ia sebenarnya tidak ada niatan untuk menjadi caleg. Ia hanya senang berorganisasi. Dan karena tokoh pendiri partai di mana ia mencalonkan diri itu sangat ia kagumi, jadilah ia ikut jadi pengurus. Tanpa imbalan apa-apa tentu saja. Semata-mata hanya demi menunjukkan kesetiaan pada partai dan sang tokoh yang sangat ia hormati dan kagumi. Terus, kenapa sampai ia bisa jadi caleg? Rupa-rupanya untuk memenuhi kuota keterwakilan perempuan yang disyaratkan sebanyak 30% dari total caleg yang diajukan. Jadilah teman saya ini caleg pelengkap.

Berbeda dengan teman-temannya sesama caleg yang rata-rata membayar Rp 15 juta hanya untuk mendaftarkan diri saja, teman saya ini tidak mengeluarkan uang sepeserpun untuk partai. Nah, yang jadi masalah kemudian adalah: dia benar-benar tidak punya cukup modal untuk berkampanye. So, waktu saya temui ia hanya diam saja di rumah. Saya tanya kegiatan kampanyenya dia bilang tidak pernah kampanye ke mana-mana. Bahkan tetangga kanan-kirinya pun tidak ada yang tahu kalau dia jadi caleg. Walah...!

Cerita punya cerita, sebenarnya teman saya ini ingin sekali memproduksi alat-alat kampanye. Ya, seperti caleg-caleg lain yang punya kalender, kaos, baliho, atau sekedar sticker untuk ditempel di muka pintu. Tapi apalah daya. Boro-boro untuk mencetak alat-alat kampanye, lha wong dia saja masih bingung mencari pekerjaan tetap yang bisa menghidupi dirinya koq. Hmmm....

Usai Pemilu kemarin saya belum sempat ketemu dia lagi. Tapi saya koq yakin dia tidak bakal terpilih. Bagaimana mungkin terpilih kalau modalnya cuma 2 keluarga yang tak lain adalah saudaranya sendiri di dapil di mana ia dicalonkan. OMG!