Setelah hampir 6 tahun lamanya tidak berhubungan dengan dunia pariwisata, kemarin saya kembali menjadi bagian dari pariwisata Jogja. Yap, saya kembali turun sebagai guide alias pemandu wisata bagi wisatawan yang melancong ke kota Jogja. Peran yang dulu begitu akrab dalam hari-hari saya selama masih menjadi mahasiswa sebuah pendidikan profesi pariwisata di bagian selatan kota Jogja. Sebuah babak kehidupan yang pernah membuat saya begitu bangga dan juga sangat dibanggakan keluarga.

Oops, sudah lupakan saja romantisme itu. (Psst, ini lanjutan setelah dikasih komen sama Artha dan Malapu.) Sekarang enaknya cerita serunya jalan-jalan bersama 3 tamu pertama saya setelah "cuti panjang" dari dunia guiding kemarin itu. So, tamu yang saya bawa hari itu adalah klien Yogya Tours, sebuah travel agent online milik Mas Handoko Adyaksa, seorang guide Prancis senior Jogja. Bagaimana saya bisa kenal Mas Handoko? Ceritanya lebih panjang lagi. Pendeknya, Mas Handoko adalah sepupu (calon) istri saya. Tepatnya anak pakde si yayang, so that's why saya ikut-ikutan panggil "Mas". Hehehe, ketahuan deh kalo KKN.

Nah, Rabu (13/08) kemarin sekitar jam 6 sore Mas Handoko telpon saya. Pertama basa-basi dulu menanyakan posisi saya di mana. Setelah itu langsung deh bilang "sesok nggowo tamu gelem ora?" Duh, saya langsung kaget. Bukan apa-apa, masalahnya sudah 6 tahun saya tidak pernah menggunakan bahasa asing (Inggris dan Prancis) untuk komunikasi. Artinya, saya yakin bakal kaku sekali kalau tiba-tiba langsung bawa tamu bule. Eh, ternyata Mas Handoko bilang "tamune seko Jakarta koq". Pfiuh... leganya hati ini begitu tahu tamunya hanya turis domestik.

Kamis (14/08) pagi jam 8 saya jemput tamunya di Hotel Saphir. Ternyata tamunya sudah menunggu di tempat parkir bersama Mas Handoko dan sopir yang disewa Yogya Tours. Ada 3 orang, dua laki-laki dan satu perempuan. Saat bersalaman dan memperkenalkan diri dengan tamu-tamu tersebut saya merasa ada yang janggal. Begitupun saat kami mulai berangkat menuju Borobudur yang jadi tujuan pertama hari itu. Apa masalahnya? Saat saya ajak ngobrol di sepanjang perjalanan, dari 3 tamu tersebut yang menyahut hanya satu orang. Namanya Pak Edwin. Saya makin yakin ada sesuatu yang janggal dengan tamu-tamu tersebut. Memikirkan hal itu saya jadi deg-degan deh. Duh...

Begitu sampai di Borobudur saya langsung beli tiket masuk untuk turis domestik. Tidak tahan dengan rasa penasaran (plus deg-degan) yang kian memenuhi pikiran, maka sayapun memberanikan diri bertanya tentang dua tamu lainnya pada Pak Edwin. Ooops, barulah ketahuan saat itu bahwa mereka berdua dari Australia. Yang cowok adalah adik kandung Pak Edwin bernama Adi. Lahir di Indonesia, tapi sejak kecil sudah tinggal di Sydney, Australia. So, ia jauh lebih mengerti bahasa Inggris ketimbang bahasa Indonesia. Nah, si cewek yang asli Australia. Si cantik ini beretnis China (seperti halnya Pak Edwin dan Adi yang juga keturunan China), tapi ia adalah warga negara Australia karena lahir di Negeri Kangguru itu. Artinya, bahasa Inggris adalah bahasa sehari-harinya. Walah!

6 tahun meninggalkan dunia pariwisata dan segala literatur/referensi tentang tempat-tempat wisata jelas membuat memori saya lemah. Saya masih ingat Borobudur terbagi atas tiga bagian: Kamadhatu, Rupadhatu dan Arupadhatu. Tapi saya lupa di mana letak patung Buddha yang biasa dipegang-pegang pengunjung Borobudur, saya lupa kisah Pangeran Sidharta Gautama di relief candi, saya lupa kapan Borobudur dibangun, dan semua hal-hal mendetil lainnya. Akhirnya jurus guide Jepang keluar. Apa itu? Beri penjelasan ala kadarnya, ajak ngobrol ngalor-ngidul, trus sering-sering disuruh foto. Hehehe... And it works, guys! So, selamatlah saya.

Tujuan kedua candi Prambanan yang kami datangi setelah makan siang di rumah makan Ibu Hj. Achmad di utara Fak. Kehutanan UGM. Saya sempat akrab sekali dengan Prambanan dan sekitarnya karena pernah magang dan tinggal di sana selama 6 bulan lebih. Namun vakum 6 tahun dari dunia pariwisata membuat saya sama sekali tidak mengetahui semua perkembangan yang terjadi di sana. So, begitu masuk ke area candi saya kaget koq masih dipagar? Padahal setahu saya rekonstruksi pascagempa sudah selesai dan candi sudah boleh dikunjungi sejak awal tahun ini. Jadi, kami hanya bisa melihat 6 candi di area utama dari pinggir-pinggir saja. Kesulitan terberatnya adalah, saya tidak punya bahan lain untuk dijelaskan kepada para tamu kecuali relief kisah Ramayana yang ada di Candi Siwa, candi tertinggi dan terbesar di komlpeks Prambanan. Duh... Jurus guide Jepang akhirnya keluar lagi deh.

Anyway Anne Hathaway busway, berhubung waktu kami masih sangat banyak saya berusaha keras menahan para tamu agar tetap di kompleks candi selama mungkin. Saya ceritakan legenda Roro Jonggrang (meskipun belepotan), saya jelaskan sedikit tentang tiap-tiap candi, saya perlihatkan teater Ramayana Ballet di sebelah barat Prambanan, saya suruh foto-foto, trus ujung-ujungnya saya ajak melihat 3 candi lain yang terletak di dekat candi Prambanan. Yaitu candi Lumbung, candi Bubrah, dan candi Sewu. Mulanya kami mau naik kereta mini. Berhubung keretanya masih kosong dan kami tidak mau menunggu, maka kami memutuskan untuk jalan kaki saja. Wow, panas-panas saat matahari berada tepat di ubun-ubun kami berjalan kaki sejauh sekitar 500 meter. Jalan pulang menuju ke pintu keluar jauh lebih panjang lagi. So, kami berempat berkeringat deras dan sangat kelelahan sekali.

Tempat terakhir yang kami kunjungi adalah pantai Parangtritis. Di sana saya membebaskan ketiga tamu untuk menghabiskan waktu sampai sore. Terserah mereka mau bagaimana dan berbuat apa. Saya hanya mengantar ke pantai, kemudian kembali ke tempat parkir untuk menunggu bersama sopir. Kurang-lebih 3 jam mereka bermain-main di pantai dan untunglah mereka sangat enjoy sekali. Pak Edwin sampai mandi segala, sementara Adi and his pretty girlfriend berjalan-jalan menyusuri pantai. Sekitar jam 5 lebih sedikit kami sudah keluar dari Parangtritis untuk pulang ke hotel.

Well, untung saja perjalanan hari itu berakhir manis. Saya lihat wajah Adi and his girlfriend ceria sekali, sementara Pak Edwin juga selalu mengumbar senyum. Sebelum berpisah saya mengucapkan terima kasih telah menggunakan jasa Yogya Tours serta memohon maaf jika selama perjalanan ada hal-hal yang membuat tidak berkenan atau tidak seperti yang mereka harapkan. Dan, kamipun berpisah di lobi hotel. Selesai. Eh, pas sudah di jalan mau pulang ke kos baru saya ingat: lupa minta foto bareng untuk kenang-kenangan! Walah..!