Bukan karena saya dekat dengan Bang Zalukhu kalau kemudian 3 posting terakhir blog ini menyinggung-nyinggung kasus saling kritiknya dengan Mualim sang Kritikus. Cuma memang harus diakui kalau kritik-kritik yang dilontarkan Bang Zal tajam sekali. Tak heran bila pihak-pihak yang dikritik jadi merah telinganya. Terakhir, saat kritik keras dilontarkan pada Joko Susilo, eh, koq malah yang menanggapi seorang blogger anonim ber-nick Mualim.

Mengamati sikap kritis Bang Zal dan Zalukhu.com, saya jadi ingat kisah sebuah surat kabar nasional bernama Indonesia Raya. Koran harian ini dikenal sebagai pers yang sangat kritis terhadap pemerintah saat itu. Hidup di dua orde kekuasaan (1949-1959 dan 1968-1974), Indonesia Raya dua kali dibredel akibat kekritisannya. Pembredelan kedua di jaman Presiden Soeharto kemudian menghabisi riwayat koran pimpinan Mochtar Lubis ini untuk selama-lamanya. Tinggallah nama Indonesia Raya hanya tinggal sejarah saja.

Sejak pertama kali terbit pada tanggal 29 Desember 1949, Indonesia Raya dikenal kritis, anti korupsi, anti penyelewengan, dan senantiasa memperjuangkan aspirasi masyarakat bawah. Karena itu, Mochtar Lubis dan rekan-rekannya tak segan-segan mengungkap berbagai kasus korupsi dan skandal yang dilakukan pejabat tinggi negara. IR, demikian koran ini biasa disebut, pernah mengkritik layanan Komite Ramah Tamah yang disediakan pemerintah Orde Lama sewaktu menyelenggarakan KTT Asia-Afrika sebagai sebuah "prostitusi terselubung". Bahkan IR tak takut memberitakan pernikahan diam-diam antara Presiden Soekarno dengan Hartini.

Bisa ditebak, keberanian tanpa pandang bulu ini membuat petinggi Orde Lama gerah. Puncaknya, ketika Indonesia Raya memberitakan peristiwa 20 Desember 1956 secara besar-besaran, Mochtar Lubis ditahan dengan tuduhan mendukung gerakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera. IR-pun berhenti terbit.

Saat tongkat estafeta kekuasaan negara berpindah ke tangan Jenderal Soeharto, Mochtar Lubis kembali berupaya menghidupkan Indonesia Raya. Dengan susah-payah ijin kembali didapatkan dan IR terbit untuk kedua kalinya pada tanggal 30 Oktober 1968. Seolah sudah menjadi watak, sikap kritis IR terhadap perilaku negatif aparat pemerintahan kembali ditunjukkan dalam pemberitaannya. Sama seperti saat belum dibredel Presiden Soekarno, IR di masa Orde Baru juga kerap menurunkan laporan investigatif seputar penyimpangan-penyimpangan dalam pengelolaan negara.

Kasus mega korupsi di tubuh Pertamina di tahun 70-an menjadi sorotan utama Indonesia Raya. IR dengan berani mengungkap hal ini ke publik sehingga memberikan tamparan keras pada muka Orde Baru. Kemudian ketika Presiden Soeharto membuka pintu investasi selebar-lebarnya bagi investor asing, khususnya investor Jepang, Mochtar Lubis, dkk. memberikan kritik keras. Dan saat peristiwa demo anarkis pada 15 Januari 1975 (Malari) meletus, IR menurunkan laporannya secara lengkap dan tuntas. Beberapa hari setelahnya, IR terus mengulas peristiwa tersebut dari berbagai perspektif. Entah mengapa, hal ini kemudian membuat pemerintah Orde Baru tidak senang sehingga IR dibredel (lagi). Surat Ijin Terbit Indonesia Raya dicabut oleh Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika tanggal 22 Januari 1974, atau tepat sepekan setelah Peristiwa Malari.

Tidak cukup sampai di sana. Setelah korannya dibredel, tiga pengasuh Indonesia Raya (Mochtar Lubis, Enggak Baha'udin, dan Kustiniyati Mochtar) juga ditangkap dan diinterogasi oleh aparat keamanan. Mereka dituduh mensponsori sejumlah rapat gelap dalam rangka mendiskreditkan pemerintah dengan menurunkan pemberitaan yang tendensius. Namun tuduhan tersebut tidak terbukti sehingga merekapun dibebaskan kembali.

Nah, kalau sikap kritis Indonesia Raya terhadap pemerintah berakibat pembredelan dan penangkapan, kekritisan Bang Zal dalam Zalukhu.com juga menuai buah pahit. Kita tentu ingat bagaimana tertekannya Bang Zal menerima serangan-serangan yang dilakukan oleh orang-orang yang dikritiknya, sampai-sampai ia memutuskan berhenti dulu untuk sementara waktu selama sebulan demi me-refresh dirinya sendiri. Akankah kisah Zalukhu.com sama dengan nasib Indonesia Raya? Silakan jawab sendiri.