Inilah resiko jadi perantau: repot pulang kampung! Terlebih untuk perantau lintas pulau seperti saya ini. Jarak Jogja-Jambi yang lebih dari 1000 kilometer membuat saya mesti melakoni perjalanan tidak ringan setiap kali hendak pulang kampung. Kalau lewat jalan darat, badan yang pegal-pegal karena harus duduk di bis selama 36 jam, terkadang bahkan lebih. Kalau lewat jalan udara memang waktunya jadi singkat, paling banter 2 jam. Tapi kantong yang capek. Maklum, saya kan anggota KPK (Komunitas Publisher Kere).

Nah, sewaktu pulang kampung akhir bulan kemarin perjalanan jadi tambah panjang karena saya mesti mampir Pemalang. Sebenarnya satu arah sih. Bisa saja saya berangkat dari Jogja terus mampir Pemalang dan baru bablas ke Jambi. Tapi karena ada masalah dengan pembiayaan, akhirnya waktu berangkat saya mesti bolak-balik dulu. Jogja-Pemalang untuk jemput tunangan, baru kemudian berangkat ke Jambi dari Jogja. Pulangnya baru asyik. Dari Jambi mampir ke Pemalang, terus dilanjutkan perjalanan Pemalang-Jambi dengan travel andalan saya, Rama Sakti.

Benar kata pepatah, manusia berencana Tuhan menentukan. Menjelang berangkat ke Jambi saya sudah berencana untuk sekaligus melakukan beberapa liputan. Selain dapat penugasan dari Pemred SKM Malioboro Ekspres, saya juga pengen menulis beberapa feature tentang orang-orang trans di Kecamatan Sungai Bahar, Muaro Jambi. Tepatnya kisah keberhasilan para transmigran dari Jogja di Desa Talang Bukit alias Sungai Bahar VI tempat saya tinggal. Plus, kalau bisa tulisan tentang Suku Anak Dalam dan kebudayaan mereka. Apa lacur, semua rencana jadi berantakan karena kondisi yang saya temui di lapangan jauh dari bayangan.

Begitu sampai di Jambi hari Minggu (1/3), ternyata kami (saya, tunangan, dan adik) secara tak sengaja datang berbarengan dengan rombongan paman dari Metro, Lampung, dan calon pengantin pria dari Batam. Rombongan paman naik bis dan sampai sekitar pukul 10, disusul calon adik ipar saya yang naik pesawat. Rombongan saya datang terakhir. Tapi berhubung yang menjemput hanya satu mobil, jadilah ketiga rombongan harus saling menunggu sampai semuanya dijemput sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan tambahan menuju rumah selama kurang-lebih 2 jam lagi.

Sampai di rumah ternyata sudah ramai sekali oleh ibu-ibu dan bapak-bapak yang rewang (membantu memasak dan mempersiapkan semua keperluan acara). Benar-benar suasana yang sangat tidak kondusif bagi saya yang paling tidak suka keramaian dan kebisingan. Ditambah lagi semua keluarga baik dari pihak Ibu maupun Bapak berdatangan. Rombongan keluarga dari pihak Ibu yang semuanya tinggal di Batumarta, OKU Timur, sejumlah 4 mobil plus 1 truk berisi perlengkapan organ tunggal. Lalu rombongan dari pihak Bapak berjumlah 2 mobil, merupakan kontingen campuran dari Pendopo, Palembang, dan Sungai Lilin, MUBA. Hmmm, rumah yang tak seberapa besar itupun jadi terasa sumpek. Untung saja rombongan besan yang terdiri dari 3 keluarga diinapkan di rumah tetangga. Kalau tidak... :(

Hal ini berlangsung sampai tanggal 6 atau H+2, meskipun tingkat keramaiannya tidak seperti menjelang hari H. Alhasil, saya sama sekali tidak bisa memegang pena. Keluar untuk liputan juga tidak bisa. Sekali-kalinya saya keluar rumah seaktu disuruh ke... pasar! Sebenarnya yang disuruh belanja tunangan saya, tapi mau tidak mau saya kan mesti ikut mengantar karena dia tidak tahu pasarnya di mana. Keluar yang kedua kali ya sewaktu mau pulang ke Jawa. Yah, bukan salah bunda mengandung, tapi salah bapak punya burung. Hehehe... Maksudnya, memang dasar momennya saja yang tidak pas. Jadinya sayapun balik ke Jawa dengan tangan hampa. Entahlah, besok sewaktu rapat redaksi apa yang akan saya jadikan alasan ke Pemred tentang kegagalan saya ini.

Untung saja begitu sampai di Jogja saya disambut beberapa berita baik. Yang pertama, untuk pertama kalinya saya mendapat komisi dari KumpulBlogger. Berapa? Rp 50.000 saja. :) Berita baik lainnya, saldo PayPal saya pelan-pelan sudah mulai terisi lagi. Ask2Link dan Blogsvertise jadi dua kontributor terbesar, disusul dengan SponsoredReviews yang akhir-akhir ini memang kurang bersahabat dengan saya. Anyway, itulah rejeki. Banyak-sedikit tetap harus disyukuri. Iya nggak sih?